Hari Anak Nasional 2017 baru saja diperingati, Minggu (23/7) di Pekanbaru, Riau. Ada hal yang menarik dan perlu dicermati dalam peringatan tersebut, khususnya saat Presiden Joko Widodo bertanya kepada seorang anak tentang profesi yang dicita-citakannya. Saat itu, anak yang bernama Rafi menjawab bahwa ia ingin menjadi seorang youtuber. Serentak jawaban yang diucapkan secara polos oleh siswa SD itu menimbulkan gelak tawa, sekaligus keterkejutan dan keheranan hadirin termasuk Presiden.

Tampaknya, meski masih di bangku sekolah dasar, Rafi sudah mengetahui tentang profesi di bidang Teknologi Informasi (TI) itu. Ia pun menerangkan kepada Presiden, bahwa ia akan mendapatkan banyak uang, jika ia menjadi youtuber kelak kemudian hari.

Jawaban Rafi itu menunjukkan bahwa dirinya tidak sekedar pernah melihat aplikasi dan konten di dalam Youtube, melainkan ia sudah pernah mengaksesnya. Bahkan ditengarai bahwa ia telah mengetahui cukup banyak tentang bisnis yang memanfaatkan aplikasi itu.

 

Dampak buruk

Fenomena Rafi itu diduga mewakili kondisi anak-anak Indonesia yang sudah terbiasa untuk mengakses internet, khususnya media sosial. Di satu sisi, hal itu menggembirakan, dimana sejak dini, anak-anak Indonesia telah mengenal dan mengakses TI, sehingga kelak mereka tidak gagap teknologi (baca: gaptek). Namun di sisi lain, hal itu dapat menimbulkan keprihatinan tersendiri. Apalagi bila memperhatikan dampak buruk yang mungkin timbul dari penggunaan TI tersebut.

Memang keterampilan untuk mengoperasikan TI dapat dipelajari siapa saja dan kapan saja. Namun, kondisi mental atau psikologis seorang anak tidak dapat disiapkan secara instan. Termasuk dalam mengoperasikan TI, khususnya internet dan aplikasi-aplikasi media sosial yang terkandung di dalamnya.

Sulit untuk menjamin tidak adanya goncangan mental kejiwaan anak-anak saat mengakses internet. Apalagi, diusia anak-anak yang seharusnya mereka masih memerlukan permainan dengan gerakan fisik, agar mereka dapat bertumbuh dengan sehat. Mereka juga sangat perlu bersosialisasi dengan keluarga, teman dan lingkungan di sekitarnya.

Sementara, jika mereka banyak mengakses internet, maka tubuh mereka tidak lagi banyak bergerak dan sosialisasi dengan lingkungan sangat kurang. Selain itu, ada ribuan bahkan jutaan gambar-gambar atau video pornografi dan pornoaksi yang mengancam pertumbuhan kejiwaannya. Bagi anak-anak yang belum siap, konten pornografi dan pornoaksi itu dapat menggoncang dan merusak kejiwaannya, serta menimbulkan kecanduan untuk melihat konten itu lagi.

Bahaya lainnya, anak-anak yang mengakses film-film yang menampilkan kekerasan, atau membaca tulisan-tulisan yang belum saatnya untuk dibaca akan segera meniru. Mereka akan melakukan tindakan-tindakan buruk dari tokoh yang ditonton atau dibacanya.

 

Upaya pencegahan

Tidak dapat disangkal bahwa internet merupakan masa depan. Oleh karena itu, anak-anak harus dipersiapkan sejak dini, agar kelak, mereka terampil dalam mengakses internet. Namun, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, antara lain: orang tua, keluarga, guru, pemerhati anak, psikolog, para ahli dan pelaku TI, tokoh agama, aparat penegak hukum, serta pemerintah, agar anak-anak tidak terdampak oleh pengaruh buruk internet. Tanpa kerjasama yang baik dari semua pihak tersebut, maka upaya penyelamatan anak-anak itu akan menghadapi kendala yang besar.

Para orang tua dan guru dapat mengarahkan anak-anak untuk mengakses aplikasi-aplikasi dan konten-konten sesuai dengan usianya. Khususnya orang tua dapat mendampingi anak-anaknya dalam mengoperasikan TI. Para pemerhati anak dapat menyiapkan konten video, gambar dan tulisan yang layak dilihat dan dibaca anak. Para ahli dan pelaku TI dapat menciptakan sistem untuk menampung dan memisahkan konten-konten yang seharusnya tidak dilihat anak-anak. Para tokoh agama dapat memberi tuntunan etika, agar anak-anak memiliki kepekaan moral. Selanjutnya, aparat penegak hukum diharapkan segera menindak pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarluaskan konten-konten terlarang bagi anak-anak.

Kerjasama itu perlu dikoordinasikan dengan baik, agar anak-anak Indonesia terlindungi dari dampak-dampak buruk yang dapat merusak dirinya. Anak-anak yang menjadi harapan bangsa itu tidak cukup dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan semata. Namun, pertumbuhan fisik, mental dan moralnya juga harus dijaga.

 

Penulis

Budi Sutedjo Dharma Oetomo , S.Kom., MM

(Terbit di Harian Bernas, Rabu 26 Juli 2017)