Saat ini, sudah menjadi pemandangan umum, dimana para pengguna smartphone selalu bercengkerama dengan aplikasi WhatsApp (WA). Mereka sudah semakin biasa untuk bercakap, bercerita dan mengungkap perasaan melalui media tersebut. Frekuensi percakapan antara mereka dengan keluarga, sahabat, kolega, mitra kerja dan usaha pun makin meningkat. Jumlah grup percakapan yang dibuat maupun yang mereka terdaftar sebagai anggota semakin bertambah banyak.

Kini, mereka tidak hanya menggunakan WA untuk percakapan secara tekstual semata. WA telah menjadi sarana untuk mengungkapkan perasaaan dengan simbol-simbol emotikon yang penuh ekspresi, seperti tersenyum, tertawa, menangis, terkejut dan lain sebagainya. Selain itu, para pengguna semakin sering mengirim dan menerima gambar, foto, animasi dan video.

WA tidak hanya menjadi sarana komunikasi personal, tetapi WA telah dimanfaatkan untuk komunikasi antar anggota keluarga, kelompok kerja atau belajar, serta asosiasi usaha. WA dinilai sebagai sarana pendukung bisnis yang efektif. Dimana para pengguna dapat menunjukkan gambar atau animasi produk kepada calon konsumennya. Selain itu, WA telah menciptakan keterbukaan informasi dalam grup, sehingga masing-masing anggota dapat melihat percakapan yang terjadi di antara mereka. Dengan demikian, prasangka buruk atau kesalahpahaman satu anggota dengan yang lain dapat dikurangi.

Kemudahan dan kecepatan dalam berkomunikasi, seperti itu sangat dinikmati para pengguna WA. Namun, hal itu berdampak pada berkurangnya perjumpaan langsung antar pribadi. Jika pemahaman relasi sosial didasarkan pada frekuensi perjumpaan langsung secara fisik, maka kekhawatiran sejumlah pihak tentang sikap antisosial pengguna WA cukup beralasan.

 

Relasi sosial baru

Sikap antisosial dipahami bahwa seseorang tidak peka dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Ia sangat membatasi diri untuk berinteraksi dengan anggota keluarga maupun orang lain. Dirinya cenderung tertutup, sehingga cakrawala pandangannya sempit. Ia tidak tanggap terhadap kejadian di sekitarnya dan tidak tergerak untuk ambil bagian dalam perjuangan hidup orang lain. Hal itu terjadi, karena ia tidak berinteraksi langsung dengan orang lain.

Namun, hal itu berbeda dengan orang yang lekat pada aplikasi WA. Mereka terus berinteraksi dengan anggota keluarga dan orang lain. Bahkan frekuensi interaksinya dengan komunitas keluarga dan kelompok terdekatnya sangat tinggi. Meskipun mereka tidak bertemu secara fisik, tetapi setiap saat mereka saling berbagi informasi, mengungkapkan perasaan dan mengetahui posisi dan kondisi koleganya.

Respon sosial para pengguna WA sangat cepat. Bilamana ada rekannya yang tertimpa persoalan atau bencana, maka mereka segera menggalang perhatian, baik ucapan penyemangat, hingga bantuan material. Bahkan mereka juga mengekspresikan perasaannya dengan simbol-simbol emotikon.

Tampak bahwa ada pola baru dalam relasi sosial pengguna WA. Memang mereka menjadi jarang bertemu secara fisik, tetapi mereka tidak berhenti bercakap dan memberi respon terhadap sesamanya yang berinteraksi baik melalui jalur pribadi (japri) maupun dalam grup. Bahkan, sebagian besar pengguna WA selalu mengkomunikasikan keberadaan dirinya, aktivitas yang sedang dilakukan, makanan dan minuman yang akan disantap dan segala dinamika yang dialaminya.

 

Penyesuaian

Kehadiran aplikasi WA ini membutuhkan penyesuaian baik dari segi pengoperasiannya, maupun pemanfaatannya dalam mengembangkan relasi sosial. Para pengguna hendaknya tidak sekedar menjadi pemakai aplikasi. Saatnya, para pengguna mengeksplorasi aplikasi WA untuk meningkatkan kualitas relasi sosial.

Para pengguna perlu mengembangkan diri, seperti karakter yang diperankannya dalam WA. Sikap dan karakter positif yang dituangkan melalui kalimat-kalimat bijak, kedewasaan diri yang diwujudkan melalui nasehat-nasehat hendaknya mengejawantah dalam dirinya. Dengan demikian, bila ia berjumpa secara fisik dengan orang yang berkomunikasi lewat WA, maka orang itu benar-benar bersimpati dengannya.

Sebaiknya, seseorang jangan seperti hanya menggunakan topeng. Ketika ia berkomunikasi dengan WA, ia tampak sebagai orang yang sangat baik dan ideal, tetapi sejatinya, ia adalah orang yang berperangai buruk.Sebaliknya, seorang yang berkepribadian baik, tetapi ia menggunakan WA untuk menebar kebohongan (hoax) yang merugikan orang lain.

 

Penutup

Masyarakat harus bersiap memasuki pola relasi sosial yang baru di era WA ini. Semua pihak hendaknya memanfaatkan sarana ini untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik bukan sebaliknya WA hanya dijadikan topeng. Dengan demikian, setiap orang yang berjumpa dan bercakap lewat WA dapat membentuk jalinan relasi sosial yang berkualitas.

 

Penulis:

Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM

(Dimuat di Harian Bernas 18 Okt 2017)