Tiga tahun terakhir ini semakin terasa derasnya arus “banjir informasi” di lingkungan internet. Setiap hari tersedia jutaan informasi kehidupan sehari-hari hingga ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) yang siap “dilahap” para pengakses.
Kebebasan untuk mengunggah dan mengunduh informasi telah membuat “lalulintas” informasi di internet sangat padat. Pelbagai informasi dalam bentuk teks, gambar, grafis, foto, animasi dan film silih berganti tersaji dengan cepat setiap saat.
Akibatnya, banyak informasi yang terlewatkan begitu saja. Sementara, informasi yang sempat dibaca pun seringkali hanya terbaca judulnya saja. Sedangkan, rincian isi informasi hanya sekilas terlihat. Dengan demikian, interpretasi yang tumbuh dalam benak pembaca belum tentu sama dengan interpretasi penyaji informasi.
Perilaku pengakses
Secara umum, para pengakses internet bergerak dengan cepat dari satu informasi ke informasi yang lain. Mereka pun akan segera meninggalkan informasi yang dirasa sudah dipahami, pernah dilihat atau tidak diminatinya.
Para pengakses tidak menyukai informasi yang disajikan dengan kalimat-kalimat yang panjang. Mereka menginginkan informasi dalam bentuk kalimat-kalimat yang ringkas, sehingga mudah dan cepat untuk dipahami maknanya.
Informasi yang baru atau yang dirasa “mengejutkan” tetapi selama hal itu dirasa menjawab rasa ingin tahunya, mendukung pendapatnya atau sesuai dengan pemikirannya akan diterima begitu saja. Umumnya, mereka tidak berusaha lagi untuk menelaah atau mengkritisinya lagi. Mereka pun langsung mempercayainya begitu saja. Bahkan hal itu akan mendorong mereka untuk segera mengirimkannya kepada handai taulan, para rekan dan sahabatnya atau siapa saja.
Tanpa interpretasi
Kondisi, dimana para pengakses menerima sepenuhnya informasi yang diterimanya tanpa interpretasi (penafsiran, telaah atau pemahaman) yang mendalam itu disebabkan tingkat kepercayaan mereka terhadap teknologi internet sangat tinggi. Mereka pun menganggap semua informasi yang terdapat di lingkungan internet adalah benar.
Apalagi, bila mereka tidak memiliki kecukupan informasi pembanding atau penguasaan terhadap ilmu untuk mengkaji kebenaran informasi yang tersaji. Selain itu, uraian yang terkandung dalam informasi yang didapatkannya memberikan kesan objektif dan benar, serta belum ada sanggahan dari lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang terkait.
Beberapa waktu lalu misalnya, informasi tentang penggunaan CCTV oleh kepolisian DIY untuk menertibkan pengendara motor dan mobil di perempatan-perempatan di Yogyakara juga sempat dipercaya para pembaca. Mereka tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu langsung menyebarluaskannya, sehingga timbul kehebohan di kalangan masyarakat. Ternyata beberapa hari kemudian diketahui bahwa informasi itu mengandung tidak benar.
Penutup
Di era kebebasan untuk mengunggah informasi dewasa ini, seharusnya para penyaji informasi tidak hanya mempertimbangkan usaha untuk menarik simpati pembaca semata. Namun, para pengunggah informasi juga harus memperhatikan dan berpegang pada etika. Dengan demikian, informasi yang dimuat tidak mengandung kebohongan (baca: hoax), provokasi yang sifatnya negatif, maupun kesalahan yang dapat menjerumuskan pembaca.
Para penyusun, pengunggah atau penyebar informasi hendaknya menimbang kemanfaatan dari informasi tersebut dan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Jika dinilai bahwa informasi itu dapat berdampak destruktif, seharusnya informasi itu tidak diunggah dan disebarluaskannya.
Hindarilah sikap latah atau iseng dalam mengunggah informasi. Pahami dengan baik interpretasi setiap informasi yang diterima. Pertimbangkanlah dengan seksama dampak dari setiap informasi yang akan diunggah. Apalagi informasi yang akan disebarluaskan. Jangan sampai masyarakat yang tidak tahu apa-apa harus ikut menanggung dampak negatif bahkan destruktif yang ditimbulkannya.
Hendaknya, semua pihak terkait saling bekerja sama untuk mengembalikan fungsi internet semula dan menjaga agar internet tidak disalahgunakan. Sudah seharusnya, internet digunakan untuk memajukan bangsa dan negera dari pada sebaliknya.
Penulis:
Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM
(Dimuat di Harian Bernas 29 Nov 2017)