Hingga akhir tahun 2017 ini, tercatat bahwa masyarakat Indonesia semakin sering bercakap-cakap menggunakan WhatsApp (WA). Berdasarkan focus group discussion (FGD) yang dilakukan dengan 20 orang, rata-rata dalam sehari mereka terlibat dalam 5 grup percakapan. Dimana, grup percakapan itu sangat bervariasi, seperti grup keluarga inti dan keluarga besar, kelompok belajar atau kerja, kepanitiaan, alumni sekolah, perumahan, kegiatan kerohanian, hobi dan lain sebagainya.

Dari pagi hingga malam hari, minimal 200 kalimat percakapan keluar atau masuk dalam akun WA mereka masing-masing. Tampak mereka intens terlibat dalam percakapan dengan topik-topik yang sangat bervariatif, dari politik, ekonomi, bencana, pekerjaan, kegiatan, tugas-tugas, ucapan selamat ulang tahun, keperluan sehari-hari hingga lelucon sebagai selingan.

Masyarakat juga semakin sering bertukar gambar dan film baik yang diunduh atau sekedar melanjutkan penyebarannya. Tidak jarang, gambar dan film tersebut merupakan karya mereka sendiri yang dengan sengaja dibuat untuk disebarluaskannya.

Tingginya intensitas percakapan itu seharusnya melahirkan masyarakat yang akrab dengan tingkat toleransi dan kepedulian yang tinggi. Namun, kondisi sosial yang ideal itu belum terbentuk sempurna. Apalagi, ada orang yang dengan sengaja menebar berita-berita bohong yang dapat mempengaruhi kohesi hubungan antar masyarakat tersebut.

 

Kemendesakan

Percakapan yang intens itu terjadi, karena semua kalimat percakapan yang masuk seakan mendesak untuk dibalas. Sepertinya, masyarakat tidak lagi melakukan pemilahan terhadap kalimat-kalimat percakapan itu, baik berdasarkan topik maupun tingkat kepentingannya.

Alasan kemendesakan itulah yang membuat masyarakat sering cepat merespon kalimat-kalimat percakapan yang masuk, meski ia sedang berkendara di jalan raya. Sepertinya mereka harus serta merta merespons setiap pesan meskipun tindakan mereka itu dapat membahayakan pengguna jalan.

Kecepatan respons itu kadang juga dapat berdampak buruk. Terutama, bila masyarakat tidak mengkritisi isi percakapan atau informasi yang diterimanya, karena dalam percakapan atau informasi itu bisa saja terselip berita-berita bohong yang sengaja disebar orang-orang tertentu.

 

Pengelolaan yang buruk

Sementara itu, masyarakat pengguna WA tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengelola setiap percakapan dan informasi yang masuk. Termasuk gambar yang diterimanya, serta film yang diputarnya akan segera memenuhi memori Smartphone yang digunakannya. Belum lagi setiap pesan yang dibiarkan tetap tercantum dalam ruang percakapan, sehingga dengan cepat mereka kehabisan ruang memori.

Seringkali pengguna WA tidak mampu dan tidak memiliki waktu untuk menata dan menyiangi informasi yang terdapat dalam ruang memori. Mereka seakan hanya fokus pada percakapan yang terjadi setiap hari, serta meneruskan gambar, film dan pesan kepada sanak keluarga, teman dan sahabat, serta anggota grup lainnya.

Banyak informasi penting tidak terdokumentasikan dengan baik. Akibatnya, pengguna WA akan mengalami kesulitan untuk mencari dan menemukannya kembali saat membutuhkannya.

 

Tergerusnya sumber daya

Akibat dari terkungkungnya pengguna dari kemendesakan dan buruknya pengelolaan percakapan itu telah mengakibatkan banyak sumber daya yang terbuang. Khususnya waktu dan tenaga yang digunakan untuk menyiangi percakapan, gambar dan film yang dengan cepat memenuhi ruang memori. Selain itu, pikiran, perasaan dan tenaga juga dapat terbuang sia-sia untuk mengatasi dampak buruk dari berita-berita bohong yang tersebar.

Oleh karena itu, terbentuknya masyarakat bercakap ini juga perlu diimbangi dengan peningkatan kemampuan literasi informasi. Bila masyarakat memiliki keterampilan untuk mengelola dan merespons setiap percakapan, informasi dan penyebaran gambar dan film secara proporsional, maka masyarakat dapat memetik manfaat dari terbentuknya masyarakat bercakap ini.

 

Penulis:

Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM

(Dimuat di Harian Bernas 20 Des 2017)