Di era internet dewasa ini, informasi makin mudah, murah dan cepat untuk diperoleh. Para pengakses internet dapat membaca dan mengunduh jutaan informasi setiap saat di pelbagai situs berita, majalah, jurnal, maupun web lembaga atau perusahaan secara gratis.
Beragam jenis informasi, baik popular maupun ilmiah pun dapat ditemukan secara cepat dengan bantuan mesin pencari (search engine), seperti Google. Para pengakses hanya perlu mengetikkan kata kunci dan dalam hitungan kurang dari satu detik, mesin pencari akan menampilkan semua informasi yang terkait dengan kata kunci tersebut.
Kemudahan dan kecepatan untuk mendapatkan informasi itu memungkinkan para pengakses internet untuk mengkoleksi informasi-informasi yang saling terkait. Bagaikan biji-biji puzzle yang bila dikaitkan satu dengan yang lain akan menyajikan suatu gambar yang utuh. Oleh karena itu, informasi-informasi yang saling berhubungan pun bila saling dikaitkan akan membentuk informasi yang utuh dan objektif.
Puzzle informasi
Masing-masing dari “biji Puzzle” informasi itu sebenarnya mengungkap cara pandang, pendapat, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan wawasan dari orang yang mengunggahnya. Namun, sangat jarang atau bahkan tidak ada informasi yang benar-benar utuh dan objektif, karena adanya keterbatasan kosa kata, pengetahuan, sudut pandang dan pengalaman penulis dalam menyajikannya.
Oleh karena itu, pembaca atau pengunduh informasi perlu mengumpulkan dan menghubungkan informasi-informasi yang memiliki kata kunci yang sama, selaras atau serumpun, agar diperoleh informasi yang lengkap tentang suatu subjek, objek, pandangan, konsep atau teori. Pembaca atau pengunduh jangan puas bila baru menemukan sebuah informasi. Apalagi, jika informasi itu akan dijadikan dasar untuk menilai atau menciptakan suatu karya. Selain itu, pembaca atau pengunduh jangan hanya menyerap informasi yang disukainya saja, agar cakrawala pandangnya tidak menjadi sempit atau terkungkung oleh informasi yang sesuai minatnya sendiri saja.
Dalam dunia pendidikan, proses untuk mengumpulkan dan menghubungkan informasi yang satu dengan informasi yang lain sudah biasa dilakukan. Para siswa dilatih untuk mengumpulkan dan menghubungkan informasi melalui studi pustaka atau jurnal saat menyusun landasan teori dalam laporan karya ilmiah atau jurnal. Para siswa didorong untuk memahami konsep dan teori tidak hanya dari seorang penulis buku saja. Mereka harus berusaha untuk mengumpulkan dan menghubungkan pandangan dari sejumlah penulis atau ahli, sehingga diperoleh pemahaman dan wawasan terhadap suatu konsep atau teori secara lengkap, utuh dan objektif. Selanjutnya, berbekal pemahaman dan wawasan itu, mereka menganalisa persoalan, menciptakan suatu alat atau aplikasi.
Tidak apriori
Sebaiknya, para pembaca atau pengunduh informasi tidak bersikap apriori saat mengumpulkan dan menghubungkan sejumlah informasi. Sikap terbuka akan menghantarkannya menemukan semua “biji puzzle” informasi, sehingga ia akan mendapatkan gambaran konsep, teori, subjek atau objek tertentu secara utuh. Oleh karena itu, di lembaga pendidikan, para siswa didorong bahkan diwajibkan untuk membaca sejumlah pustaka dan jurnal sebelum menyusun dasar teori.
Sikap apriori akan membatasi seseorang untuk memahami informasi secara objektif dan meletakkan setiap teks dalam konteksnya secara tepat. Akibatnya, ia tidak dapat menangkap pesan secara utuh. Selain itu, sikap apriori tidak dapat mengembangkan iklim atau pola pikir ilmiah yang mengutamakan objektivitas.
Konteks
Untuk menemukan “biji-biji puzzle” informasi yang terkait, maka pembaca atau pengunduh informasi perlu memahami teks dalam konteks dari informasi yang ditemukannya. Konteks itu akan memperjelas teks yang tertulis, baik tentang latar belakang, alasan dan tujuan sebuah teks dirumuskan. Misalnya informasi tentang hukum Archimedes yang sering dipahami sebagai hukum tentang benda mengapung di air. Padahal, jika ditemukan secara utuh konteksnya, maka hukum Archimedes bukan pertama-tama mengupas soal benda mengapung. Adapun konteks hukum Archimedes sebagai berikut: “Archimedes hidup di Syracusa sekitar 287 – 212 SM. Ia menyatakan suatu hukum, yaitu suatu benda yang dicelupkan sebagian atau seluruhnya ke dalam zat cair akan mengalami gaya apung yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkan oleh benda tersebut. Hukum itu ditemukan ketika ia memperhatikan ada air yang tumpah ke lantai bersamaan dengan ia menceburkan dirinya dalam bak mandi umum yang penuh air. Hukum itu dirumuskannya untuk menanggapi perintah penyelidikan tentang campuran mahkota emas milik Raja Hieron II.
Untuk menemukan konteks dari teks, maka pembaca atau pengunduh informasi dapat menggunakan rumus 5W+1H, yaitu What (apa persoalan atau fenomenanya), Who (siapa pelaku atau yang dikenai tindakan pelaku), Where (dimana kejadiannya), When (kapan waktunya), Why (mengapa hal itu terjadi atau dilakukan), serta How (bagaimana caranya hal itu terjadi). Bila seluruh unsur 5W+1H itu ditemukan, maka teks dapat dipahami secara utuh sesuai dengan konteksnya.
Kegiatan mengumpulkan dan menghubungkan informasi yang satu dengan yang lainnya bertujuan untuk menemukan unsur-unsur 5W+1H, serta memadukan sudut pandang untuk memperoleh gambar yang utuh dan objektif. Jika unsur-unsur itu tidak lengkap, maka subjektivitas seseorang akan lebih dominan walaupun belum tentu pandangannya sesuai dengan konteks yang sebenarnya.
Penutup
Di tengah ketersediaan informasi dewasa ini, para pembaca dan pengunduh informasi perlu mengembangkan pola mengumpulkan dan menghubungkan “biji-biji puzzle” informasi. Dengan demikian, iklim ilmiah semakin terwujud dimana akan diperoleh pemahaman yang utuh dan objektif dari setiap informasi.
Penulis:
Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM
(dimuat Harian Bernas, Rabu, 1 Februari 2017)