Slogan “paperless” atau “tanpa kertas” telah digulirkan beberapa tahun terakhir ini, khususnya sejak kebangkitan industri komputer. Masyarakat tidak hanya dihimbau untuk menghemat kertas yang dipakai, tetapi juga menghindari penggunaannya. Jika penggunaan kertas dapat dicegah, maka diharapkan jumlah pohon yang ditebang sebagai bahan bubur kertas dapat dikurangi. Selanjutnya, pohon-pohon dapat dilestarikan untuk menjadi “paru-paru” kota bahkan dunia, serta sarana pencegahan banjir.
Komputer yang menjadi sarana pengganti kertas pun segera dieksplorasi. Siang malam, para ahli melakukan penelitian dan inovasi, sehingga lahirlah beragam aplikasi, seperti koran, tabloid, majalah, buku dan aneka laporan elektronik. Usaha para ahli itu didukung industri komputer dan telekomunikasi yang memungkinkan semua produk komputer dan sarana telekomunikasi dapat mengakses aplikasi-aplikasi tersebut.
Para ahli didukung para pengguna komputer dan telekomunikasi terus mensosialisasikan penggunaan aplikasi-aplikasi itu. Sekolah, perguruan tinggi, maupun perkantoran didorong untuk mengoptimalkan pelbagai aplikasi, agar mereka dapat membebaskan diri dari penggunaan kertas. Namun, benarkan gerakan “tanpa kertas” dapat menghemat pohon?
Transformasi digital
Kini, penyerapan perangkat-perangkat komputer, telekomunikasi dan peralatan pendukung lainnya, seperti LCD projector sangat tinggi. Berbagai lembaga, perusahaan bahkan perorangan pun segera berlomba-lomba untuk memiliki perangkat-perangkat tersebut. Timbul kebutuhan bagi lembaga perusahaan dan perorangan untuk mendigitalkan semua informasi dan dokumen, agar mereka dapat menghemat tempat, mempercepat proses pengolahan dan distribusi informasi dan dokumen.
Setiap kali rapat, lembaga dan perusahaan sudah berusaha untuk menghindari kertas, sehingga semua dokumen hanya ditayangkan melalui LCD projektor dan notulen pembahasan langsung diketik dengan komputer dan didistribusikan lewat internet. Demikian pula di sekolah dan perguruan tinggi, dimana semua materi ajar ditayangkan dengan LCD projektor dan diunggah dalam aplikasi e-Class, agar materi itu dapat diunduh para siswa.
Kebutuhan listrik
Namun, seiring dengan penggunaan perangkat-perangkat komputer dan telekomunikasi tersebut kebutuhan aliran listrik meningkat dengan pesat pula. Sekolah dan perguruan tinggi membutuhkan pasokan listrik lebih besar, karena setiap ruang kelas terlebih ruang praktikum komputer sepanjang hari membutuhkan daya listrik untuk mengoperasikan computer, LCD projektor dan peralatan pendukung seperti AC.
Dapat dibayangkan besarnya kebutuhan listrik, bila di Indonesia terdapat sekitar 4.500 perguruan tinggi, 300.000 sekolah dasar hingga menengah atas (databoks.katadata.co.id,2017), lebih kurang 24.000 perusahaan besar sedang (BPS, 2013). Selain itu, masih banyak warung internet, game center, lembaga dan perorangan yang menyerap perangkat-perangkat komputer yang belum terhitung.
Untuk mengatasi kebutuhan pasokan listrik, Detik Finance (2015) mencatat pemerintahan presiden Joko Widodo berusaha keras membangun pembangkit-pembangkit untuk menyediakan listrik sebesar 35.000 MW senilai Rp. 1.189 T. Pasokan listrik itu diharapkan dapat menghindarkan Indonesia dari krisis listrik lima tahun ke depan.
Jika untuk menyediakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pemerintah harus membangun puluhan waduk, maka usaha penyediaan listrik akan “menenggelamkan” ribuan hektar hutan atau jutaan pohon. Hal itu berarti upaya penghematan kertas belum bahkan tidak berdampak pada pelestarian pohon dan hutan yang akan menjadi “paru-paru” kota dan dunia, serta penahan banjir.
Penutup
Dari uraian tersebut, tampak bahwa penggunaan perangkat-perangkat komputer dan telekomunikasi untuk menghindari penggunaan kertas tidak serta merta menghemat pohon. Ditengarai, pemerintah justru harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membangun pusat-pusat tenaga listrik. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan ribuan hektar hutan harus diubah fungsinya menjadi waduk.
Oleh karena itu, para pengguna perangkat-perangkat komputer dan telekomunikasi yang menyerap listrik yang tinggi perlu melakukan gerakan penghematan. Hendaknya perangkat-perangkat itu benar-benar dimanfaatkan secara produktif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dari pada hanya untuk bermain atau bahkan dibiarkan menyala tanpa digunakan apapun.
Penulis:
Budi Sutedjo Dharma Oetomo, S.Kom., MM
(Dimuat di Harian Bernas 11 Okt 2017)